twitter
    Find out what I'm doing, Follow Me :)

05 Oktober 2010

GUNADARMA PREVIEW JURNAL

STRUKTUR DAN INTEGRASI PASAR EKSPOR
LADA HITAM DAN LADA PUTIH DI DAERAH PRODUKSI UTAMA
ADIMESRA DJULIN DAN A. HUSNI MALIAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PENDAHULUAN
Pertanaman lada di Indonesia sebagian besar diusahakan oleh rakyat,
yaitu 99,7 persen dari luas areal pertanaman pada tahun 1998. Komoditas
perkebunan rakyat ini dicirikan oleh pola pengelolaan yang tradisional, dengan
produk utama yang dihasilkan dalam bentuk lada asalan. Perkembangan luas
areal pertanaman lada selama beberapa terakhir, pada dasarnya merupakan
respon masyarakat terhadap harga jual lada hitam dan lada putih di pasar
domestik yang telah terintegrasi dengan harga pasar dunia (Rachman et al.,
2003).
Produksi dan perdagangan lada dunia saat ini dikuasai oleh tujuh
negara, yaitu India, Indonesia, Brazil, Vietnam, Malaysia, Thailand dan China.
Dalam tahun 1995 pangsa produksi lada India mencapai 30,2 persen,
Indonesia 18,1 persen, Brazil dan Vietnam 12,1 persen, Malaysia 10,9 persen,
Thailand 6,2 persen dan China sebesar 6,0 persen (Departemen Perindustrian
dan Perdagangan, 1995). Sementara itu importir utama lada dunia adalah
Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Belanda, Jepang dan Perancis (FAO,
1999).
Secara nasional, agribisnis lada di Indonesia memberikan andil dalam
peningkatan pendapatan petani dan perekonomian nasional. Indrawanto (2001)
memperkirakan, dengan luas areal pertanaman lada sekitar 120.000 ha dan
rata-rata kepemilikan kebun seluas 1,03 ha, maka agribisnis lada telah mampu
memberikan kehidupan bagi sekitar 116.500 keluarga petani pekebun. Apabila
produktivitas lada di Indonesia diperkirakan sebesar 490 kg/ha dan harga jual
lada sebesar Rp. 15.000/kg, maka setiap keluarga petani diperkirakan akan
memperoleh penerimaan sekitar Rp. 7,7 juta/tahun. Tingkat penerimaan ini
akan meningkat sejalan dengan kenaikan produksi dalam siklus dua tahunan,
atau terjadinya kenaikan harga di pasar dunia.
Secara makro ekspor lada Indonesia juga memberikan devisa bagi
perekonomian nasional. Indrawanto (2001) menyatakan bahwa kontribusi
devisa yang diberikan oleh komoditas lada menduduki urutan ke enam dalam
sub sektor perkebunan, yaitu setelah komoditas karet, CPO, kopi, teh dan
coklat. Dengan menggunakan harga berlaku, tingkat pertumbuhan nilai ekspor
lada Indonesia selama 1989-1998 sebesar 9,0 persen/tahun.
Ekspor lada Indonesia dalam bentuk lada hitam, lada putih dan lada
bubuk sebagian besar ditujukan ke Singapura dan Amerika Serikat (Damanik,
2001). Nilai ekspor lada hitam dan lada putih dalam tahun 2001 menunjukkan
penurunan. Untuk lada hitam, nilai ekspor tertinggi diperoleh tahun 2000
sebesar US $ 100,6 juta, dan tahun 2001 menurun menjadi US $ 39,9 juta.
Sementara itu nilai ekspor lada putih pada tahun 1995 sebesar US $ 69,8 juta,
dan angka ini meningkat menjadi US $ 140,7 juta pada tahun 1999. Setelah itu
nilai ekspor ini menurun menjadi US $ 60,1 juta pada tahun 2001 (BPS, 2002).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat struktur dan integrasi pasar lada
hitam dan lada putih Indonesia di daerah produksi utama. Dari informasi ini
diharapkan dapat diambil kebijakan yang tepat untuk mendorong petani
meningkatkan produksi dan produktivitas lada di Indonesia.

METODE PENELITIAN
Pendekatan Analisis
Analisis integrasi pasar dilakukan dengan menggunakan persamaan (1)
yang diturunkan dan dimodifikasi dari model Ravallion (1986) sebagai berikut:
k
(1) lnPfj(t) = αj lnPfj(t-n) + βj ln(Pmj(t) - Pmj(t-n)) + δj lnPmj(t-n) + Σ(γjlnZij) + ej(t) i=1
di mana: Pfj(t) = harga jual di tingkat petani komoditas j pada periode t (Rp/kg);
Pfj(t-1) = harga jual di tingkat petani komoditas j pada periode t-n (Rp/kg);
Pmj(t) = harga jual di tingkat pedagang komoditas j pada periode t (Rp/kg);
Pmj(t-1) = harga jual di tingkat pedagang komoditas j pada periode t-n (Rp/kg);
Zij(t) = variabel eksogen i yang diperkirakan dapat mempengaruhi harga
komoditas j di tingkat petani pada periode t (misalnya musim);
n = periode lag;
k = banyaknya variabel eksogen; dan
ej(t) = galat.
Model integrasi pasar tersebut telah digunakan oleh Simatupang et al.
(1999) untuk komoditas kopi, Hutabarat et al. (1999) untuk komoditas bawang
merah dan cabai merah, serta Rachman et al. (2000, 2002a, 2002b) untuk
komoditas jagung dan beras. Dengan menggunakan parameter hasil estimasi
persamaan (1), dapat dihitung indeks integrasi pasar (Market Integration Index
= MII) dengan persamaan (2) sebagai berikut:
(2) MII = αj/δj, di mana 0 ≤ MII ≤ ∞
Kedua tingkat pasar terpadu secara sempurna jika MII = 0 dan masih
cukup kuat jika MII <> 1, berarti integrasi lemah dan jika MII = ∞
berarti dua tingkatan pasar tersebut sama sekali tidak berhubungan.
Lokasi Penelitian dan Cara Pengumpulan Data
Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah daerah produksi utama
lada hitam dan lada putih di Indonesia, yaitu Kabupaten Lampung Utara,
Propinsi Lampung untuk lada hitam dan Kabupaten Bangka, Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung untuk lada putih. Dari setiap lokasi penelitian dipilih
60 orang petani contoh secara acak. Selain petani lada hitam dan lada putih,dalam penelitian ini juga dilibatkan pedagang, pengolah, dan eksportir sebagai
contoh penelitian.
Penelitian ini menggunakan berbagai jenis data primer dan data
sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Data primer dikumpulkan
dari setiap simpul pada struktur vertikal sistem agribisnis komoditas lada hitam
dan lada putih, melalui wawancara langsung dengan responden terpilih dengan
menggunakan kuesioner terstruktur. Selain data primer, penelitian ini juga
memanfaatkan data berkala yang mencakup : (1) Volume dan nilai ekspor lada
hitam dan lada putih Indonesia; (2) Harga domestik pada berbagai tingkat
pasar, harga ekspor dan harga dunia lada hitam dan lada putih; (3) Nilai tukar
rupiah terhadap US $.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Integrasi Pasar Lada Hitam
Saluran tataniaga lada hitam di Propinsi Lampung diawali dari petani
yang menjual sebagian besar (80 persen) dari lada hitam yang dihasilkan
kepada Pedagang Desa. Sebagian kecil petani langsung menjual kepada
Pedagang Pengumpul yang berkedudukan di ibukota kabupaten (Gambar 1).
Dengan pola perdagangan seperti itu, telah terbentuk struktur pasar
oligopolistik, di mana beberapa Pedagang Desa menentukan harga pembelian
di tingkat petani.
Marjin biaya yang dikeluarkan oleh Pedagang Desa, Pedagang
Pengumpul dan Pedagang Besar/Eksportir masing-masing Rp. 60/kg, Rp.
495/kg dan Rp. 500/kg (Tabel 1). Dari marjin ini terlihat bahwa Pedagang
Pengumpul mengeluarkan biaya yang hampir setara dengan Pedagang
Besar/Eksportir, karena harus menanggung biaya susut sekitar 2 persen dari
harga beli. Peluang terjadinya susut ini sangat besar, karena sering kali terjadi
perbedaan waktu (lag) yang cukup lama antara pembelian dan penjualan.
Pedagang Desa, Pedagang Pengumpul dan Pedagang Besar/Eksportir
menikmati marjin keuntungan yang relatif proporsional, yaitu Rp 440/kg, Rp
505/kg dan Rp. 500/kg.
Hasil analisis integrasi harga petani dan harga eksportir lada hitam
menunjukkan bahwa harga jual di tingkat petani ditentukan oleh tingkat harga

jual petani pada bulan sebelumnya (Tabel 2). Sedangkan tingkat harga
eksportir pada bulan sebelumnya dan dummy bulan panen tidak mempengaruhi
harga jual di tingkat petani. Hal ini diduga terkait dengan pola pemasaran yang
dilakukan oleh petani dalam bentuk penjualan secara bertahap.
Dari dugaan parameter diatas diperoleh indeks integrasi pasar (MII)
yang tak terhingga. Dengan demikian, antara dua tingkatan pasar tersebut
sama sekali tidak berhubungan, sehingga harga jual di tingkat petani tidak
terkait dengan harga ekspor. Namun, posisi tawar petani masih memadai,
dimana petani menerima harga hampir 85 persen dari harga FOB.
Tabel 1. Marjin Tataniaga Lada Hitam di Propinsi Lampung, 2002.
Uraian Marjin pemasaran
(Rp/kg)
Pangsa
(%)
1. Harga di tingkat petani 14.000 84,85
2. Pedagang Desa
a. Harga beli 14.000
b. Marjin biaya total 60 0,36
c. Marjin keuntungan 440 2,69
d. Harga jual 14.500 87,89
3. Pedagang Pengumpul
a. Harga beli 14.500
b. Marjin biaya total 495 3,00
c. Marjin keuntungan 505 3,04
d. Harga jual 15.500 93,93
4. Pedagang Besar/Eksportir
a. Harga beli 15.500
b. Marjin biaya 500 3,03
c. Marjin keuntungan 500 3,03
d. Harga jual (FOB) 16.500 100,00
Tabel 2. Hasil Analisis Integrasi Harga Petani dan Harga Eksportir Lada Hitam
di Propinsi Lampung, 2002.
Peubah Dugaan
Paramater Stat. t Prob >
|T| R 2 Stat. DW
Intersep 0,5038 1,09 0,28 0,78 2,08
Lag harga petani 0,6707 4,47 0,00
Lag harga eksportir -0,0363 -0,63 0,53
Dummy bulan panen -0,0455 -0,26 0,80
Dalam analisis integrasi harga eksportir dan harga dunia terlihat bahwa
harga jual lada hitam di tingkat eksportir ditentukan oleh tingkat harga jual
eksportir pada bulan sebelumnya dan tingkat harga lada hitam dunia pada
bulan sebelumnya (Tabel 3). Sedangkan delta harga dunia (selisih harga lada
hitam dunia bulan ini dan bulan sebelumnya), serta dummy bulan panen tidak
mempengaruhi harga jual di tingkat eksportir.
Tabel 3. Hasil Analisis Integrasi Harga Eksportir dan Harga Dunia Lada Hitam
di Propinsi Lampung 2002.
Peubah Dugaan
Paramater Stat. t Prob > |T| R 2 Stat.
D-W
Intersep 0,5880 1,94 0,06 0,98 2,11
Lag harga eksportir 0,6005 4,85 0,00
Delta harga dunia 0,0047 0,25 0,80
Lag harga dunia 0,3311 3,02 0,01
Dummy bulan panen 0,0097 0,24 0,81
Indeks integrasi pasar antara harga eksportir dan harga lada hitam dunia
(MII) sebesar 1,81 memberikan indikasi keterkaitan pasar yang lemah. Hal ini
berarti bahwa penentuan harga beli oleh eksportir tidak sepenuhnya ditentukan
oleh tingkat harga di pasar dunia, serta nilai tukar rupiah. Integrasi harga yang
lemah ini terkait dengan adanya pilihan bagi eksportir, apakah akan
mengekspor lada atau mengekspor kopi. Pilihan tersebut timbul, karena
eksportir lada hitam umumnya juga berperan sebagai eksportir kopi.
Penguasaan informasi pasar dunia telah memberikan keuntungan bagi mereka
untuk melakukan pilihan komoditas yang akan diekspor.
Struktur dan Integrasi Pasar Lada Putih
Saluran tataniaga lada putih di Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung
diawali dari petani yang menjual lada putih yang dihasilkan kepada Pedagang
Desa atau Pedagang Pengumpul (Gambar 2). Struktur pasar cenderung
oligopolistik, di mana beberapa Pedagang Pengumpul menghadapi dan
menentukan harga pembelian di tingkat Petani. Seluruh lada putih yang dibeli
Pedagang Pengumpul dijual kepada Eksportir yang berkedudukan di Pangkal
Pinang (ibukota Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung). Sebagian besar lada
putih ini (90 persen) diekspor dengan tujuan Singapura dan Amerika Serikat.

Hanya sekitar 10 persen lada putih yang dihasilkan dijual ke Jakarta untuk
memenuhi kebutuhan domestik.
Marjin biaya yang dikeluarkan oleh Pedagang Desa, Pedagang
Pengumpul dan Eksportir berturut-turut Rp. 135/kg, Rp. 620/kg dan Rp. 600/kg
(Tabel 4). Tampak bahwa Pedagang Pengumpul mengeluarkan biaya cukup
besar, khususnya untuk menanggung terjadinya susut sebesar dua persen.
Peluang terjadinya susut ini sangat besar, karena lada putih yang dijual Petani
dan Pedagang Desa umumnya belum memenuhi standard ekspor. Para
Eksportir menikmati marjin keuntungan yang terbesar yaitu Rp. 1,600/kg, diikuti
oleh Pedagang Pengumpul (Rp 680/kg), dan Pedagang Desa (Rp 565/kg).
Besarnya keuntungan yang diterima oleh Ekportir ini terkait dengan
kemampuan mereka untuk menaksir kecenderungan perubahan nilai tukar.
Tabel 4. Marjin Tataniaga Lada Putih di Kabupaten Bangka, 2002.
Uraian Marjin tata niaga
(Rp/kg)
Pangsa
(%)
1. Harga di tingkat petani 16.500 79,71
2. Pedagang Desa
a. Harga beli 16.500
b. Marjin biaya total 135 0,66
c. Marjin keuntungan 565 2,72
d. Harga jual 17.200 83,09
3. Pedagang Pengumpul
a. Harga beli 17.200
b. Marjin biaya total 620 3,00
c. Marjin keuntungan 680 3,28
d. Harga jual 18.500 89,37
4. Eksportir
a. Harga beli 18.500
b. Marjin biaya 600 2,91
c. Marjin keuntungan 1.600 7,72
d. Harga jual (FOB) 20.700 100,00
Hasil analisis integrasi harga petani dan harga eksportir lada putih
menunjukkan bahwa harga jual di tingkat petani ditentukan oleh tingkat harga
jual petani pada bulan sebelumnya dan tingkat harga eksportir pada bulan
sebelumnya (Tabel 5). Sedangkan dummy bulan panen tidak mempengaruhi
harga jual di tingkat petani. Hal ini diduga terkait dengan pola pemasaran yang
dilakukan oleh petani dalam bentuk penjualan secara bertahap.
Tabel 5. Hasil Analisis Integrasi Harga Petani dan Harga Eksportir Lada Putih
di Kepulauan Bangka-Belitung, 2002.
Peubah Dugaan
Paramater Stat. t Prob >
|T| R 2 Stat. DW
Intersep 0,2298 1,01 0,32 0,98 2,26
Lag harga petani 0,9544 30,72 0,00
Lag harga eksportir 0,0439 2,89 0,01
Dummy bulan panen 0,0192 0,53 0,60
Dari dugaan parameter di atas, diperoleh indeks integrasi pasar (MII)
sebesar 21,7. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi harga petani dan harga
eksportir sangat lemah. Penentuan harga beli di tingkat petani tidak ditentukan
oleh harga di tingkat eksportir, tetapi antara petani dan Pedagang Desa atau
antara petani dan Pedagang Pengumpul. Lemahnya posisi tawar ini terkait
dengan tidak tersedianya informasi pasar yang cukup, sehingga petani selalu
menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh para pedagang.
Sementara itu, hasil analisis integrasi harga eksportir dan harga dunia
memperlihatkan bahwa harga jual di tingkat eksportir dipengaruhi oleh tingkat
harga jual eksportir dan tingkat harga dunia pada bulan sebelumnya (Tabel 6).
Sedangkan delta harga dunia (selisih harga dunia bulan ini dan bulan
sebelumnya), serta dummy bulan panen tidak mempengaruhi harga jual di
tingkat eksportir.

Tabel 6. Hasil Analisis Integrasi Harga Eksportir dan Harga Dunia Lada Putih di
Kepulauan Bangka-Belitung, 2002.
Peubah Dugaan
Paramater Stat. t Prob >
|T| R 2 Stat. DW
Intersep 0,0755 0,47 0,64 0,99 1,67
Lag harga eksportir 0,4004 4,18 0,00
Delta harga dunia 0,0015 0,12 0,90
Lag harga dunia 0,5849 5,71 0,00
Dummy bulan panen -0,0240 -0,84 0,40
Dari hasil analisis di atas diperoleh indeks integrasi pasar (MII) antara
harga eksportir dan harga dunia sebesar 0,68. Angka indek ini memberikan
indikasi adanya integrasi pasar yang kuat antara harga eksportir dan harga
dunia. Hal ini berarti bahwa penentuan harga beli oleh eksportir ditentukan oleh
tingkat harga di pasar dunia, serta nilai tukar rupiah. Integrasi harga ini sangat
dimungkinkan, mengingat para eksportir memiliki fasilitas informasi pasar dunia
yang memadai. Penguasaan informasi pasar dunia ini memberikan keuntungan
bagi para eksportir, karena penurunan harga lada putih di pasar dunia atau
penurunan nilai tukar rupiah akan segera direspon dalam bentuk penurunan
harga beli. Namun jika harga lada di pasar dunia menunjukkan kenaikan atau
terjadi penguatan nilai tukar rupiah, maka para eksportir memberikan respon
secara lambat.


KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1. Perdagangan lada putih di daerah produksi utama telah membentuk struktur
pasar oligopolistik di tingkat Pedagang Pengumpul, di mana beberapa
Pedagang Pengumpul menghadapi dan menentukan harga pembelian di
tingkat Petani dan Pedagang Desa. Sementara itu, untuk komoditas lada
hitam struktur pasar oligopolistik terbentuk pada tingkat Pedagang Desa.
2. Dalam pemasaran lada hitam di Propinsi Lampung petani menerima bagian
sebesar 85 persen dari harga fob, sedangkan petani lada putih di Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung menerima 80 persen dari harga fob. Besarnya
bagian yang diterima petani lada hitam mencerminkan koordinasi vertikal
antar simpul agribisnis komoditas itu lebih baik dibandingkan lada putih.
3. Harga lada hitam di tingkat petani dan harga eksportir tidak berhubungan,
sedangkan antara harga eksportir dan harga dunia terintegrasi sangat
lemah. Sementara itu, integrasi harga lada putih di tingkat petani dan harga
eksportir terintegrasi sangat lemah, sedangkan antara harga ksportir dan
harga dunia cenderung terintegrasi kuat. Terintegrasinya harga eksportir
dan harga dunia mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat
dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar internasional. Hal ini memberi
petunjuk bahwa pengembangan komoditas lada seyogyanya mempertimbangkan
efisiensi dan daya saing di pasar dunia.
Implikasi Kebijakan
Untuk meningkatkan daya saing komoditas lada di pasar ekspor,
Pemerintah Daerah hendaknya dapat berperan lebih aktif sebagai fasilitator,
dinamisator dan regulator di daerahnya. Selama ini pengembangan komoditas
lada kurang mendapat perhatian yang memadai, sehingga produktivitas yang
diperoleh masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara
pesaing utama yang mampu mencapai tingkat produktivitas yang tinggi, yaitu
3,2 ton/ha di Malaysia dan 2,6 ton/ha di Brazil.


DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Perdagangan Luar Negeri : Ekspor-Impor
Volume I.
Damanik, S. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Lada Indonesia di
Pasar Internasional, hal. 113-119. Jurnal Penelitian Tanaman
Industri, Vol. 7, No. 4, Desember 2001.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 1995. Perkembangan
Perdagangan Internasional Komoditas Lada. Prosiding Seminar
Sehari: Prospek Lada Indonesia 1996, Cisarua – Bogor, 18
Desember 1995.
Food Agricultural Organization. 1999. Trade Volume 52. FAO Yearbook. Rome
Hutabarat, B., H. Mayrowani, B. Santoso, HMT. Kalo, B. Winarso, B. Rahmanto,
Ch. Muslim, Waluyo, dan V. Darwis. 1999. Sistem Komoditas
Bawang Merah dan Cabai Merah. Laporan Hasil penelitian
Puslibang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Indrawanto, C. 2001. Peran, Posisi dan Prospek Lada Indonesia, hal. 8-9.
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Vol. 7,
No. 1-2, Maret-Juni 2001.
Rachman, B., A.H. Malian, S.H. Susilowati, dan I.K. Karyasa. 2000. Dinamika
dan Prospek Harga Komoditas Pertanian. Prosiding
Pembangunan pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Rachman, B. 2002a. Perdagangan Internasional komoditas Jagung. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan.
Rachman, B. dan Saktyanu. 2002b. Perdagangan Internasional Beras. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan
Rachman, B., A.H. Malian, A. Djulin, T. Nurasa dan J. Situmorang. 2003. Studi
Pengembangan Agribisnis Perkebunan Rakyat Dalam Perspektif
Globalisasi. Laporan Hasil Penelitian Puslibang Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Ravallion, M. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural
Economics 68 (1) : 102-109.
Simatupang, P., A. Purwoto, Hendiarto, A. Supriatna, WR. Susila, R. Sayuti dan
R. Elizabeth. 1999. Koordinasi Vertikal sebagai Strategi Untuk
Meningkatkan Daya Saing Komoditas Kopi. Laporan Hasil
Penelitian Puslibang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Petani
80% 20%
Pedagang Desa 90% Pedagang Pengumpul
10%
100%
Pedagang Besar/
Eksportir
75% 25%
Ekspor Antar Pulau
(DKI, Jabar dll)
Gambar 1. Saluran tata niaga lada hitam di Propinsi Lampung, 2002.
12
12
70%
Eksportir
90%
30% 80% 100%
Petani Pedagang Desa Pedagang Eksportir
Pengumpul
10%
20%
Antar Pulau
(DKI)
Gambar 2. Saluran tata niaga lada putih di Propinsi Kepulauan Bangka-Belitung, 2002.

Source :http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/(3)%20soca-adimesrajulin-integrasi%20pasar%20ekspor.pdf